Visi Sekolah
Rabu, 24 Jul 2024

  • “Terbentuknya manusia berprestasi yang berkarakter: religious, disiplin jujur, tanggung jawab, cerdas, sehingga mampu bersaing di era baru, era digital”
25 Februari 2023

Biografi Pangeran Diponegoro

Sabtu, 25 Februari 2023 Kategori : informasi

Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau biasa kita kenal dengan sebutan Diponegoro adalah salah satu dari sekian banyak pahlawan nasional Republik Indonesia dan termasuk pahlawan nasional dari Jawa. Beliau lahir di Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dan meninggal di Makassar, Hindia Belanda, pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa yang berkecamuk mulai tahun 1825 hingg 1830 melawan penjajahan Hindia Belanda. Perang Jawa ini termasuk sebagai perang dengan korban paling banyak dalam lembaran sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia. 

Asal usul Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah anak dari Sultan Hamengkubuwono III. Beliau adalah raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Pahlawan yang kelak memimpin Perang Jawa ini lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Mustahar. Ibunda Mustahar adalah selir yang bernama R.A. Mangkarawati, yang berasal dari Pacitan. Selain dipanggil dengan Mustahar, Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro juga dipanggil dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya.

Sadar karena kedudukannya yang hanya sebagai anak seorang selir, Diponegoro menolak keinginan Sultan Hamengkubuwana III untuk diangkat menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Biasanya, di lingkungan kebangsawanan, putra mahkota yang pantas hanyalah anak dari permaisuri. Diponegoro sendiri pernah menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya. Yaitu R.A. Retna Madubrangta, R.A. Supadmi yang merupakan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, R.A. Retnadewati yang merupakan putri dari seorang Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta, R.Ay.

Citrawati yang merupakan puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir, R.A. Maduretno yang merupakan putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwono II), R.Ay. Ratnaningsih yang merupakan putri Raden Tumenggung Sumaprawira yang menjabat sebagai bupati Jipang Kepadhangan, R.A. Retnakumala yang merupakan putri Kyahi Guru Kasongan, R.Ay. Ratnaningrum yang merupaka  putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan yang terakhir adalah Syarifah Fathimah Wajo yang merupakan putri Datuk Husain. Tempat peristirahatannya ada di Makassar.

Biografi Pangeran Diponegoro : Kehidupan Pangeran Diponegoro

Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga dia lebih suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut putrinya atau permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota perwalian yang menemani Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan pemerintahan keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda. Tentu Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.

Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal dengan tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan sangat mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya sendiri. Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara frontal, mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi, sang paman, Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua yang diberi nama Gua Selarong.

Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa perjuangannya adalah perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum kafir. Teriakan perang sabil yang dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu dan Pacitan. Salah seorang tokoh ulama dari Surakarta yang bernama Kyai Maja juga ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berada di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sang Pangeran ingin mendirikan kerajaan atau pemerintahan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo adalah sebagai ulama besar dan berpengaruh yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga dengan Diponegoro.

Ibu dari Kyai Mojo yang bernama R.A. Mursilah adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III. Tapi Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah  tidak pernah merasakan kemewahan gaya hidup khas keluarga bangsawan. Jalinan persaudaraan antara Kyai Mojo dan Diponegoro semakin erat ketika Kyai Mojo menikahi janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Karena itulah, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski hubungan antara keduanya lebih tepat dikatakan saudara sepupu.

Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan dan Sunan Pakubuwono VI. Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan Diponegoro sangatlah kuat karena dia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama yang dikenal teguh menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum yang utama. Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat perlawanan melawan Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi Perang Suci.

Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan khususnya dari tokoh-tokoh agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut seorang sejarawan Peter Carey di bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun 2016, disebutkan bahwa kira-kira ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami kerugian hingga tidak kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak cara terus diusahakan oleh Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun digunakan. Hadiah sebesar 50.000 Gulden diberikan kepada siapapun yang berhasil menangkap Diponegoro. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua pasukan. Contohnya seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat pertarungan di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan tentara Perancisnya mengacak-acak tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh tanah Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika suatu wilayah bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya wilayah itu sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.

Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat mesiu dibangun di hutan dan dasar jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus meningkat karena peperangan terus berkecamuk. Para intel dan kurir bekerja keras mencari, menganalisis dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi kekuatan musuh, jarak dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin banyak informasi yang terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena peperangan tidak hanya dimenangkan dari satu atau dua faktor.

Serangan-serangan masif dari rakyat Jawa selalu digencarkan ketika bulan-bulan penghujan. Karena para senopati sangat paham sekali bahwa salah satu cara untuk menang adalah mengenali dan menggunakan alam sebagai senjata tak terkalahkan. Jika musim hujan tiba, gubernur Belanda akan berusaha untuk mengajak gencatan senjata dan berunding. Karena hujan tropis yang sangat deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Tidak hanya itu, penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan masalah yang tidak tampak dan melemahkan fisik dan moral tentara Belanda. Bahkan yang paling parah adalah penyakit-penyakit tersebut merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata disetujui, Belanda akan mengatur pasukan dan menyebarkan intel dan provokator mereka untuk bergerak di kota dan desa. Tugas mereka adalah menghasut, memecah belah dan bahkan meneror anggota keluarga para bangsawan dan pemimpin perjuangan rakyat yang mengikuti perjuangan di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang dan para bangsawan pribumi tersebut tidak takut dan semakin berani melawan Belanda.

Pada puncak Perang Jawa, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu. Suatu hal yang belum pernah terjadi ketika masa penjajahan. Ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dipenuhi oleh puluhan ribu serdadu Belanda. Dari sudut pandang dunia kemiliteran, ini adalah perang pertama yang menggunakan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka dan metode perang gerilya yang dilakukan dengan taktik hit and run dan penghadangan.

Ini sebenarnya bukan sebuah perang suku, tapi suatu perang modern yang menggunakan berbagai macam siasat yang belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga menggunakan  taktik perang urat saraf (psy-war) melalui teknik insinuasi, tekanan-tekanan dan provokasi oleh pihak Belanda ke mereka yang terlibat langsung dalam peperangan kegiatan intelijen dan spionase antara kedua belah pihak juga sangat aktif untuk mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda menyerang kubu Diponegoro dengan menggunakan taktik benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja berhasul ditangkap. Kemudian menyusul Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya yang menyerah kepada Belanda. Akhir cerita, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di daerah Magelang. Karena sudah terjepit, Pangeran Diponegoro bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota pasukannya dibebaskan. Akhirnya, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Lalu dipindahkan ke Makassar hingga menghembuskan nafas terakhir di Benteng Rotterdam pada tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan Belanda lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro. Seperti Ki Sodewa, Dipaningrat, Dipanegara Anom dan Pangeran Joned. Mereka terus-menerus melakukan perlawanan tanpa kenal menyerah walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro tertangkap dan dibuang ke Ambon. Sementara Pangeran Joned dan Ki Sodewa gugur dalam peperangan.

Akhir Perang Jawa

Berakhirnya Perang Jawa menandai akhir perlawanan bangsawan Jawa. Setelah perang Jawa, jumlah penduduk Ngayogyakarta berkurang hingga separuhnya. Sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pemberontak. Sehingga konon keturunannya dilarang masuk ke Kraton. Sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi ampunan bagi keturunan Diponegoro yang mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Diponegoro di masa Perang Jawa. Kini anak cucu Diponegoro bisa bebas masuk Kraton. Khususnya untuk mengurus silsilah tanpa rasa takut akan diusir.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Komentar